Kurs Rupiah Indonesia Menguat di Awal Pekan, USD/IDR Tertekan, Tunggu Data PMI ISM AS
- Rupiah Indonesia menguat ke Rp16.285 per dolar AS menjelang sesi Eropa, mengoreksi pelemahan pekan lalu sebesar 0,94%.
- Dolar AS tertekan menyusul data inflasi PCE yang melambat, memicu ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed.
- Tekanan eksternal meningkat dari ketegangan geopolitik, ketidakpastian dagang AS-Tiongkok, dan rilis data ekonomi AS minggu ini.
Pasar keuangan Indonesia kembali dibuka pada Senin ini dan mata uang Rupiah Indonesia (IDR) mencatat penguatan terhadap Dolar AS (USD). Menjelang sesi perdagangan Eropa, kurs Rupiah bergerak di kisaran Rp16.285 per dolar AS, menguat sekitar 0,51% dibandingkan penutupan sebelumnya. Penguatan ini terlihat sebagai koreksi atas pelemahan sebesar 0,94% yang tercatat sepanjang pekan lalu.
Pasangan mata uang USD/IDR sempat menyentuh level tertinggi harian di Rp16.350 usai rilis beberapa data Indonesia, sebelum berbalik arah dan melemah selama sesi Asia.
Di sisi lain, Indeks Dolar AS (DXY) dibuka melemah pada awal pekan ini dan kembali bergerak di bawah ambang psikologis 99, mencerminkan tekanan yang masih membayangi mata uang Greenback. Hingga pada saat berita ini ditulis di siang hari waktu Indonesia, DXY tercatat berada di level 98,96, setelah sebelumnya pada hari Kamis lalu sempat mencoba menembus kembali ke atas level 100 namun gagal mempertahankan momentum. Pelemahan Greenback terjadi menyusul rilis data PCE (Personal Consumption Expenditures) yang dirilis pada hari Jumat, yang menunjukkan perlambatan tekanan harga. Selain itu, ketidakpastian arah kebijakan suku bunga The Fed turut membebani daya tarik dolar AS.
PMI Manufaktur Indonesia Naik Tipis, Inflasi Terkendali, Surplus Perdagangan Tergerus Lonjakan Impor
Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang diterbitkan oleh S&P Global naik ke 47,4 pada bulan Mei 2025 dari level terendah hampir empat tahun pada April sebesar 46,7, yang menandakan penurunan yang lebih lemah dalam aktivitas pabrik.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat inflasi Indonesia bulan Mei 2025 sebesar 1,60% YoY dengan IHK 108,07. Secara bulanan terjadi deflasi 0,37%, sementara inflasi tahun berjalan mencapai 1,19%. Inflasi inti tercatat 2,40% YoY.
Di sisi perdagangan, surplus neraca perdagangan untuk bulan April 2025 menyusut tajam menjadi USD 0,15 miliar, jauh di bawah ekspektasi pasar dan capaian Maret sebesar USD 4,33 miliar. Ekspor tumbuh 5,76% YoY, sesuai proyeksi, namun impor melonjak 21,84% YoY, jauh melampaui prakiraan 7,75%, sehingga menekan kinerja perdagangan.
Inflasi PCE AS Melambat, Peluang Pemangkasan Suku Bunga The Fed Meningkat — Rupiah Bisa Diuntungkan
Inflasi tahunan di Amerika Serikat berdasarkan Indeks Harga Belanja Konsumsi Pribadi ( Personal Consumption Expenditure/PCE) turun menjadi 2,1% pada April 2025 dari 2,3% di bulan Maret, lebih rendah dari proyeksi pasar sebesar 2,2%, menurut Biro Analisis Ekonomi AS.
Sementara itu, PCE inti — yang tidak memasukkan harga makanan dan energi — naik 2,5% YoY, turun dari 2,7% di bulan sebelumnya dan sesuai ekspektasi analis. Secara bulanan, kedua indeks tersebut mencatatkan kenaikan 0,1%.
Data lain menunjukkan pendapatan pribadi naik 0,8%, sementara belanja pribadi tumbuh 0,2% pada bulan April, mengindikasikan konsumsi tetap moderat di tengah perlambatan tekanan harga.
Perlambatan inflasi ini memperkuat keyakinan pasar bahwa Federal Reserve (The Fed) berpeluang memangkas suku bunga acuannya pada September, dengan sebagian pelaku pasar bahkan memperkirakan kemungkinan pemangkasan lebih lanjut pada bulan Desember. Jika prospek pemangkasan suku bunga terealisasi, Dolar AS berisiko melemah lebih lanjut, membuka ruang apresiasi bagi Rupiah.
Trump Tuduh Tiongkok Langgar Kesepakatan Dagang, USTR: Situasi Harus Segera Ditangani
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali melontarkan kritik tajam terhadap Tiongkok dalam sebuah unggahan di platform Truth Social pada Jumat, menuduh Beijing telah melanggar kesepakatan dagang yang sebelumnya disepakati dengan Washington. Ia menyebut bahwa dirinya telah "membuat kesepakatan cepat" demi menyelamatkan Tiongkok dari situasi ekonomi yang semakin memburuk. "Saya tidak ingin melihat hal itu terjadi," tulisnya.
Namun, Trump kemudian menyatakan bahwa Tiongkok “telah sepenuhnya melanggar kesepakatan,” dan menambahkan bahwa hal ini seharusnya tidak mengejutkan bagi sebagian orang.
Perwakilan Perdagangan AS (USTR), Jamieson Greer, dalam wawancaranya dengan CNBC di hari yang sama, menyampaikan keprihatinan atas ketidakpatuhan Tiongkok terhadap komitmen dagang yang telah dibuat. Ia menegaskan bahwa kondisi ini "harus segera ditangani", menandakan potensi kembalinya ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.
Ketegangan yang kembali mencuat ini dikhawatirkan akan memperburuk prospek perdagangan global dan meningkatkan risiko ketidakpastian pasar, termasuk terhadap mata uang negara berkembang seperti Rupiah, yang sensitif terhadap gejolak hubungan dagang AS-Tiongkok.
Ketegangan Geopolitik Global Berpotensi Menekan Rupiah
Meningkatnya eskalasi geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah menambah tekanan terhadap sentimen pasar keuangan global, termasuk terhadap nilai tukar Rupiah. Risiko geopolitik global kembali meningkat setelah Ukraina meluncurkan salah satu serangan drone terbesar ke wilayah Rusia pada hari Minggu, menargetkan lima pangkalan udara dan menghancurkan lebih dari 40 pesawat militer. Serangan ini terjadi hanya beberapa jam sebelum dimulainya putaran baru perundingan damai langsung di Istanbul, sementara Rusia merespons dengan serangan rudal dan drone ke Ukraina.
Di Timur Tengah, situasi semakin memanas. Israel melanjutkan pemboman intensif di Jalur Gaza, sementara kelompok Houthi di Yaman mengklaim telah menembakkan rudal balistik ke Bandara Ben Gurion di dekat Tel Aviv — serangan yang dilaporkan berhasil dicegat sistem pertahanan Israel.
Investor Global Tunggu Data PMI ISM AS dan Pidato Pejabat The Fed
Para investor global tengah bersiap menyambut sejumlah rilis makroekonomi penting dari Amerika Serikat pada awal pekan ini, yang bertepatan dengan masuknya bulan perdagangan baru. Fokus utama pasar hari ini akan tertuju pada laporan PMI Manufaktur ISM yang akan dirilis hari Senin pada pukul 14:00 GMT (21:00 WIB).
Selain itu, perhatian pelaku pasar juga akan mengarah pada pidato pejabat The Fed Logan, Waller dan Goolsbee, pernyataan mereka akan diikuti dengan cermat oleh pasar untuk menangkap sinyal lanjutan terkait prospek suku bunga setelah inflasi PCE terbaru menunjukkan tanda-tanda pelonggaran.
Inflasi FAQs
Inflasi mengukur kenaikan harga sekeranjang barang dan jasa yang representatif. Inflasi utama biasanya dinyatakan sebagai perubahan persentase berdasarkan basis bulan ke bulan (MoM) dan tahun ke tahun (YoY). Inflasi inti tidak termasuk elemen yang lebih fluktuatif seperti makanan dan bahan bakar yang dapat berfluktuasi karena faktor geopolitik dan musiman. Inflasi inti adalah angka yang menjadi fokus para ekonom dan merupakan tingkat yang ditargetkan oleh bank sentral, yang diberi mandat untuk menjaga inflasi pada tingkat yang dapat dikelola, biasanya sekitar 2%.
Indeks Harga Konsumen (IHK) mengukur perubahan harga sekeranjang barang dan jasa selama periode waktu tertentu. Biasanya dinyatakan sebagai perubahan persentase berdasarkan basis bulan ke bulan (MoM) dan tahun ke tahun (YoY). IHK Inti adalah angka yang ditargetkan oleh bank sentral karena tidak termasuk bahan makanan dan bahan bakar yang mudah menguap. Ketika IHK Inti naik di atas 2%, biasanya akan menghasilkan suku bunga yang lebih tinggi dan sebaliknya ketika turun di bawah 2%. Karena suku bunga yang lebih tinggi positif untuk suatu mata uang, inflasi yang lebih tinggi biasanya menghasilkan mata uang yang lebih kuat. Hal yang sebaliknya berlaku ketika inflasi turun.
Meskipun mungkin tampak berlawanan dengan intuisi, inflasi yang tinggi di suatu negara mendorong nilai mata uangnya naik dan sebaliknya untuk inflasi yang lebih rendah. Hal ini karena bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi yang lebih tinggi, yang menarik lebih banyak arus masuk modal global dari para investor yang mencari tempat yang menguntungkan untuk menyimpan uang mereka.
Dahulu, Emas merupakan aset yang diincar para investor saat inflasi tinggi karena emas dapat mempertahankan nilainya, dan meskipun investor masih akan membeli Emas sebagai aset safe haven saat terjadi gejolak pasar yang ekstrem, hal ini tidak terjadi pada sebagian besar waktu. Hal ini karena saat inflasi tinggi, bank sentral akan menaikkan suku bunga untuk mengatasinya. Suku bunga yang lebih tinggi berdampak negatif bagi Emas karena meningkatkan biaya peluang untuk menyimpan Emas dibandingkan dengan aset berbunga atau menyimpan uang dalam rekening deposito tunai. Di sisi lain, inflasi yang lebih rendah cenderung berdampak positif bagi Emas karena menurunkan suku bunga, menjadikan logam mulia ini sebagai alternatif investasi yang lebih layak.